Setetes Harapan Penderes dalam Proses Pembuatan Gula Jawa Tradisional di Banyumas

Setetes Harapan Penderes dalam Proses Pembuatan Gula Jawa Tradisional di Banyumas

Setetes Harapan Penderes dalam Proses Pembuatan Gula Jawa Tradisional di Banyumas

CILONGOK, Ziis.sch.id - Masyarakat Indonesia sudah tak asing lagi dengan bahan makanan yang satu ini, ya gula Jawa atau gula kelapa merupakan produk bahan makanan tradisional yang sudah ada secara turun temurun di Nusantara. Gula Jawa biasanya digunakan masyarakat Indonesia sebagai bahan campuran masakan, campuran es kelapa muda atau wedang jahe.

 

Pengrajin gula Jawa merupakan industri rumah tangga yang cukup terkenal di Banyumas, Jawa Tengah, salah satunya di Kecamatan Cilongok. Sebagian besar warga di Desa di kecamatan tersebut menggantungkan hidupnya dari usaha sebagai pengrajin gula Jawa. Bahkan kerajinan pembuatan gula Jawa ini sudah dilakoni secara turun temurun.

 

Seperti di Desa Pageraji, dari jumlah total penduduk yang mencapai sekitar 11.086 jiwa, sekitar 900-an jiwa warganya merupakan pengrajin gula Jawa. Gula Jawa yang di produksi di Banyumas ini sudah terkenal asli manisnya, berwarna coklat dan keras, bahkan setelah lama disimpan. Namun, tidak mudah untuk dapat membuat gula Jawa ini, proses panjang pengolahan gula Jawa ini cukup melelahkan.

 

Proses pengolahan gula Jawa ini diawali dengan proses penyadapan dari pohon kelapa yang dilakukan oleh seorang ‘Penderes’ atau penyadap air nira kelapa. 

 

Profesi penderes sangat penting di lingkaran industri gula kelapa, ia merupakan seorang yang memiliki peran paling hulu. Tugasnya adalah menyadap air nira dengan cara memanjat pohon kelapa, duduk diatas pelepah daun kelapa, mengambil wadah atau pongkor yang sudah terpasang sebelumnya. 

 

Setelah itu, penderes akan menyayat bunga kelapa (Manggar) dengan sayatan baru agar air nira dari bunga kelapa keluar, kemudian ia kembali memasang wadah kosong yang sebelumnya sudah di campur dengan air dari kulit manggis dan air kapur gamping untuk menampung air nira, fungsinya agar gula yang sudah di cetak hasilnya akan menjadi keras dan tahan lama. 

 

Untuk memasangnya pun tidak sembarangan, agar pongkor yang telah terpasang tidak kemasukan air hujan. Proses penyadapan ini biasanya memakan waktu 24 jam, tetes demi setetes merupakan harapan bagi para penderes.

 

Menjadi penderes pun harus memiliki keahlian khusus, selain harus bisa memanjat pohon yang tingginya berkisar 15-30 meter tanpa pengaman apapun, penderes juga harus memahami karakteristik dari pohon kelapa, sehingga dapat memilih bunga kelapa yang banyak mengandung nira. Rata-rata mereka harus menyadap 30-40 pohon kelapa, jadi dalam sehari mereka harus memanjat sekitar 60-80 kali.

 

“Ada 30 pohon yang saya sadap. Jadi dalam sehari 60 kali saya naik pohon kelapa pagi dan sore,” Kata Jazuli (40), seorang penderes warga desa Pageraji, saat ditemui beberapa waktu lalu.

 

Menurut dia, dari 30 pohon tersebut, air nira yang sudah diolah menjadi gula Jawa, dirinya akan memperoleh hasil kurang lebih sekitar 10 kilogram gula Jawa. Gula tersebut akan dihargai oleh pengepul sekitar Rp 12.000 - Rp 12.400 ribu per kilogram.

 

Dengan perhitungan tersebut, berarti Jazuli bisa mendapatkan uang sekitar Rp 120- Rp124 ribu rupiah. Tapi keuntungan tersebut belum dipotong biaya untuk kayu bakar. Bahkan jika memasuki musim penghujan, ia mengaku pendapatannya menurun. Belum lagi resiko yang mengancam nyawa sering dialami penderes gula kelapa, seperti terjatuh dari pohon yang berakibat cacat atau meninggal dunia.

 

“Kalau musim terang bisa mencapai 10 kilogram, tapi kalau musim hujan turun menjadi 8 kilogram, itu karena saat musim hujan kualitas nira menjadi turun akibat tercampur air hujan. Selain itu banyak pongkor yang tidak terpasang karena saat hujan pohon menjadi licin, selain itu keuntungan dari hasil gula jawa belum bersih karena harus dipotong biaya beli kayu bakar,” ujarnya.

 

Di Banyumas, air nira untuk pembuatan gula Jawa yang sudah di sadap tersebut dinamakan ‘bandek’, warnanya putih keruh, air bandek tersebut dapat diminum langsung atau di fermentasikan menjadi tuak yang mengandung alkohol.

 

Sementara menurut Tursinah (40) seorang pengrajin gula Jawa mengatakan jika pengrajin gula Jawa yang saat ini dilakoninya sudah dilakukan sekitar 15 tahunan. Dia menekuni profesi ini karena sang suami merupakan seorang penderes kelapa dan sudah menjadi mata pencahariannya sehari-hari.

 

Dia menjelaskan proses pembuatan gula tersebut dilakukan setelah semua air bandek terkumpul, kemudian direbus diatas tungku tanah liat dengan menggunakan bahan bakar kayu dan merang. Setelah mendidih dalam proses perebusan, lama kelamaan air rebusan bandek akan mengental dan berubah menjadi kecoklatan.

 

“Lama memasak sekitar 3-4 jam, tergantung kadar airnya,” katanya.

 

Dia mengatakan, jika sudah cukup mengental, bandek diangkat dari tungku lalu di aduk terus hingga makin mengental dan siap di cetak. Setelah itu, cairan kental berwarna coklat ini pun dituang menggunakan gayung kedalam cetakan-cetakan kecil yang terbuat dari bambu yang sebelumnya sudah disiapkan.

 

“Saat menuang adonan gula jawa harus cepat, jika tidak nantinya akan mengeras dan tidak bisa di cetak. Biasanya untuk melepas gula dari cetakan sekitar 10-15 menit,” ungkapnya.

 

Setelah gula jawa dilepas dari cetakan, batangan gula berwarna merah itu harus diangin anginkan terlebih dahulu sambil mencetak gula jawa selanjutnya yang dituangkan dari adonan. Setelah benar-benar kering dan keras, gula jawa siap di kemas dan di pasarkan.

 

“Biasanya nanti ada yang ngambil gulanya ke rumah. Kalau tidak kita yang mengantar ke pengepulnya dan biasanya dihargai sekitar Rp 12.000 - Rp 12.400 ribu per kilogram. Tapi harga itu selalu naik turun, tidak menentu,” ucapnya.

 

Dia mengungkapkan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dirinya hanya mengandalkan pendapatan dari membuat gula Jawa. Dia sendiri mengaku tidak mempunyai banyak pohon kelapa, sehingga suaminya selalu bergantian menderes air nira kepada pemilik pohon per lima hari.

 

“Jadi perlima hari kita bagi bagi air nira dari pohon kelapa. Lima hari air nira ke suami saya yang menderes, lima hari kemudian air nira di berikan ke pemilik pohon, jadi sama –sama untung, saya bisa buat gula, pemilik pohon juga bisa buat gula,” ungkapnya.

 

Namun, saat ini dia sangat menyesalkan dengan banyaknya pengerajin gula jawa yang sudah tidak jujur, diantara mereka banyak yang hanya mencari keuntungan semata tapi tidak melihat bahaya dari sesuatu yang dilakukannya tersebut, dia mencontohkan, banyak diantara para pembuat gula yang mencampurkan obat kedalam proses pembuatan gula Jawa, gunanya agar gula Jawa yang nantinya akan dijual hasilnya bagus, dan coklat cerah.

 

“Makanya para pengrajin disini tahu mana gula Jawa yang pakai obat dan mana yang asli. Yang asli itu gulanya biasa saja tidak terlalu mencolok warnanya,” ujarnya.

 

Para pengrajin di desa tersebut biasanya menggunakan kulit manggis dan air kapur dari batu gamping yang dituangkan ke pongkor saat akan menyadap nira. Itu fungsinya untuk mengeraskan gula Jawa dan mengawetkannya secara alami, bukan dengan menggantikannya dengan obat-obatan.

 

Komentar (0)

Tinggalkan komentar

whatsapp